Jika pintu masjid dikunci, Bagaimana Para Muasafir Hendak Sembahyang? - Masjid seharusnya menjadi rumah Allah yang terbuka, tempat setiap hamba mendekat tanpa hambatan ruang dan waktu. Namun, kenyataannya banyak kita temui masjid-masjid yang pintunya tertutup rapat, tak ada ruang untuk menemui Allah di luar waktu berjamaah. Bagi sebagian orang mungkin hal ini dianggap kecil, tetapi pernahkah kita berpikir bagaimana dengan para musafir atau orang-orang yang sedang bepergian
Coba renungkan jika seseorang sedang dalam perjalanan yang jauh. Sedang ia belum menunaikan ibadah, kemudian ia singgah di sebuah masjid hendak sembahyang. Namun, ternyata pintunya tertutup rapat!. Dalam realitas yang begini, hati seakan bertanya-tanya, apakah kita telah kehilangan makna rumah Allah yang seharusnya terbuka untuk siapa saja?
Masjid Sebagai Rumah Allah yang Seharusnya Terbuka
Hal ini mengajak kita untuk kembali mengingat bagaimana masjid di masa awal Islam didirikan, yakni sebagai ruang publik yang ramah, teduh, dan mudah digunakan. Maka, ketika kita mendapati pintu masjid dikunci, ada makna yang terasa terputus antara hamba dan rumah Tuhannya.
Masjid sejak awal peradabannya dibangun untuk menjadi tempat ibadah, pusat ilmu, dan tempat pertemuan umat. Dari zaman Rasulullah SAW, masjid berdiri tanpa sekat dan tanpa penghalang sedikitpun. Artinya siapa saja boleh datang, baik untuk sembahyang, berzikir, maupun sekadar beristirahat. Karena itu, jika pintu masjid dikunci, ada rasa kehilangan yang muncul, seakan rahmat yang mestinya terbuka menjadi terbatas.
Bagi seorang musafir, masjid bukan hanya tempat menunaikan kewajiban, tetapi juga tempat mencari ketenangan di tengah lelahnya perjalanan. Betapa berat rasanya ketika kebutuhan rohani itu terhalang oleh gembok dan kunci, apalagi jika ia tak tahu harus mencari kemana tempat ibadah yang lain. Barangkali, pengurus masjid mungkin juga mempertimbangkan faktor keamanan, risiko barang hilang atau fasilitas rusak. Namun, tidakkah kita bisa menemukan jalan tengah, antara menjaga amanah sekaligus menjaga akses?
Masjid yang terkunci memberi pesan simbolis yang kuat. Sementara dalam doa, kita memohon agar pintu rahmat Allah selalu terbuka. seharusnya, masjid mencerminkan harapan itu, pintu yang ramah, lingkungan yang bersih, dan budaya saling menjaga agar rumah Allah tetap hidup setiap saat, bukan hanya pada saat-saat tertentu.
Ketika kita menghadapi kondisi yang demikian, jika pintu masjid dikunci, maka agama memberi kelonggaran, dan akal sehat mengajak untuk mencari solusi yang layak.
Dalam kondisi darurat, syariat Islam memperbolehkan shalat di mana saja selama tempatnya suci dan bersih. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa bumi dijadikan sebagai masjid, artinya, musafir bisa menunaikan shalat dimana saja, di pinggir jalan, atau bahkan sudut ruangan yang layak. Pilihan ini akan menjadi solusi tetap terlaksananya sholat meskip bukan di dalam masjid.
Walau demikian, renungan tetap perlu. Betapa indahnya jika masjid tetap terbuka agar siapa pun merasa disambut, merasa memiliki rumah berpulang untuk jiwa-jiwa yang rindu akan Tuhannya.
Jika realitas itu tercipta atas alasan keamanan, barangkali kita bisa merenungkan untuk menerapkan sistem penjagaan, kamera, bahkan jadwal piket takmir sehingga keamanan terkelola tanpa harus menutup akses ibadah. Sehingga tak kan pernah ada cerita Rumah Allah ditutup.
Di sisi lain, kita juga perlu memperhatikan adab dalam menggunakan rumah Allah, untuk menjaga kebersihannya, tidak merusak fasilitas, dan menaati aturan yang disepakati. Ketika umat menunjukkan rasa tanggung jawab, maka pengurus pun lebih yakin untuk membuka ruang yang lebih luas. Dengan demikian, masjid bisa kembali menjadi ruang teduh bagi para musafir, malaikat-malaikat kecil dan hamba Allah yang rindu akan ketenangan.

Comments
Post a Comment
Terimakasih telah singgah di Musafir Lalu.
Tinggalkan jejak pemikiran dan perasaanmu di kolom komentar.