"Setiap Anak Layak Mendapatkan Orang Tua, Tapi Tidak Semua Orang Tua Layak Mendapatkan Anak"


seorang anak yang matanya menyimpan kesedihan sebagai ilustrasi setiap anak layak mendapatkan orang tua

Ada sebuah kalimat yang saya dapatkan beberapa pekan lalu yang cukup membuat saya merenung "setiap anak layak mendapatkan orang tua, tapi tidak semua orang tua layak mendapatkan anak". Kalimat ini membuat saya berpikir dalam-dalam dan benar saja ia menyimpan luka sosial yang begitu dalam.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern saat ini, kita sering menemukan berbagai berita tentang anak yang ditelantarkan, dibuang di jalanan, bahkan dibiarkan hidup tanpa kasih sayang. Ironisnya, di balik peristiwa-peristiwa itu ada orang tua yang seharusnya menjadi pelindung, justru memilih mengabaikan amanah yang paling berharga.

Anak lahir tanpa meminta, mereka hadir sebagai anugerah. Dalam setiap tangis pertama, terselip harapan tentang masa depan yang besar. Dalam setiap genggaman kecil tangannya, ada doa agar dunia ini menjadi tempat yang ramah. Sayangnya, tak semua anak mendapatkan kesempatan merasakan hangatnya pelukan ayah atau teduhnya belaian ibu.

Banyak di antara mereka yang harus tumbuh dalam kemiskinan, bukan hanya materi, tetapi juga kemiskinan kasih sayang. Ada anak yang dibesarkan di panti asuhan, ada yang berjuang sendirian di jalanan, ada pula yang tumbuh bersama rasa kehilangan yang tak pernah bisa terobati. Mereka tidak pernah memilih lahir dalam keluarga tertentu, namun realitas membuat mereka harus menanggung beban yang tak semestinya.

anak-anak jalanan sebagai ilustrasi setiap anak layak mendapatkan orang tua

Seorang anak seharusnya menjadi cermin kebahagiaan orang tua. Tapi di banyak sudut kehidupan, kita melihat bagaimana kehadiran anak dianggap beban. Ada orang tua yang lebih memilih memenuhi ego pribadinya daripada merawat darah dagingnya sendiri. Ada pula yang hanya melahirkan, namun melupakan tugas untuk mendidik, membimbing, dan memberi rasa aman.

Kita mungkin bertanya, apa yang salah? Mengapa masih ada hati yang tega membuang anaknya sendiri? Mengapa masih ada yang lebih memilih melepaskan tanggung jawab, sementara di luar sana begitu banyak pasangan yang mendambakan kehadiran seorang anak namun tak kunjung diberi kesempatan?

Renungan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyadarkan. Menjadi orang tua bukan sekadar soal melahirkan, tapi tentang kesediaan merawat, mengasihi, dan mendampingi. Anak adalah titipan, bukan milik mutlak. Mereka datang untuk kita jaga, bukan untuk kita buang.

Setiap anak layak mendapatkan orang tua yang penuh kasih, penuh kesabaran, dan penuh tanggung jawab. Namun sayangnya, tidak semua orang tua mampu mewujudkan itu. Maka tugas kita bersama, sebagai masyarakat, adalah memastikan tidak ada anak yang merasa sendirian.

Saya percaya bahwa di tengah gelapnya kenyataan, selalu ada cahaya. Masih ada orang-orang berhati besar yang membuka pintu rumahnya bagi anak-anak terlantar. Masih ada komunitas dan lembaga yang berjuang memberi kehidupan yang lebih layak bagi mereka. Inilah bukti bahwa harapan tak pernah benar-benar hilang.

Semoga tulisan ini mengingatkan kita bahwa anak adalah amanah sekaligus ujian. Ia bisa menjadi sumber kebahagiaan, tetapi juga bisa menjadi penyesalan jika kita lalai menjaganya. Setiap anak yang lahir membawa pesan dari langit, bahwa dunia ini harus lebih manusiawi.

Dan kita, orang dewasa, harus bertanya kepada hati sendiri "apakah kita sudah benar-benar layak disebut orang tua?"


(tulisan ini terinspirasi dari komentar netizen dalam sosial media, saya harap tidak menjadi perdebatan, tapi menjadi renungan untuk kita semua. silahkan tinggalkan pesan dan komentar anda pada kolom di bawah )

Comments