Ada kata-kata yang tercipta untuk disampaikan, dan ada kata-kata yang memilih diam. Surat ini yang tak sempat dikirimkan menjadi ruang di antara keduanya, sebuah jejak perasaan yang dipeluk rapat oleh waktu.
Aku membayangkan selembar kertas, tinta yang mulai mengering di ujung pena, dan kalimat yang berhenti di tengah napas. Setiap huruf adalah keberanian yang disusun, namun ada batas yang menahan, rasa takut akan jawaban, atau mungkin malu akan kerapuhan sendiri. Maka kertas itu dilipat, disimpannya di laci, dan menjadi saksi bisu bahwa kita pernah berani membuka dada walau akhirnya memilih menutup mulut.
Surat yang tak terkirim itu lahir dari rindu yang tak terjawab. Ada rindu pada seseorang yang pergi tanpa pesan, ada rindu pada masa yang tak bisa diulang, ada pula rindu pada diri sendiri yang dulu hilang arah. Menuliskan rindu dan mencoba menambatkan hati pada selembar kertas, garis-garis tinta, dan nama yang tak pernah kita sebutkan pada siapa pun.
Ada pula maaf yang ditulis dengan lembut, harapan yang dirangkai tanpa tuntutan, dan doa yang diselipkan di antara baris-barisnya. Menyimpannya sama seperti merawat perasaan, memberi ruang bagi kata-kata agar tidak menjadi beban, melainkan menjadi pelajaran yang diam-diam menyembuhkan.
Dalam ketidaksampaian itu, ada keindahan. Pilihan untuk tidak mengirim bukanlah penolakan terhadap kebenaran, melainkan bentuk kelembutan. Ada sesuatu yang enggan kita rusak dengan jawaban yang mungkin tak sesuai harapan, ada pula wajar jika kita takut merusak kenangan dengan pembicaraan yang gamblang. Maka ia memilih tetap untuk tersimpan rapi.
Di lain waktu, membuka kembali surat itu seperti mengulang pertemuan dengan masa lalu. Kita membaca ulang kata-kata yang dulu menetes dari jiwa, tersenyum pada keberanian yang pernah ada, atau menangis pada penyesalan yang masih hangat. Surat itu mengajarkan bahwa menulis sudah menjadi keberanian, kita memberi nama pada perasaan, mengurutnya, dan memberinya tempat.
Sederhana saja, tidak semua yang tertulis harus mencapai tujuan. Ada perkara yang paling suci justru ketika dibiarkan utuh, seperti doa yang terbisik pada malam, atau rinduku yang kutaruh pada selembar kertas. Surat yang tak sempat dikirimkan itu menyimpan, merawat, dan menunggu waktu yang mungkin tak pernah datang.
.png)
Comments
Post a Comment
Terimakasih telah singgah di Musafir Lalu.
Tinggalkan jejak pemikiran dan perasaanmu di kolom komentar.