Di Balik Pintu Rumah Tua: Kisah yang Menunggu untuk Ditemukan


Ada sesuatu yang selalu menggoda imajinasi ketika berhadapan dengan rumah tua. Dari kejauhan, dinding yang mulai rapuh dan cat yang mengelupas seakan berbisik tentang waktu yang tak lagi muda. 

Jendela-jendela kayunya terpejam setengah, seolah menyimpan rahasia yang tak rela terbongkar. Sebuah pintu tua yang tak hanya menjadi jalan masuk, tapi juga gerbang menuju kisah yang tak pernah selesai diceritakan.

Aku berdiri di depan pintu itu, meraba serat kayu yang sudah dipenuhi guratan usia. Ada aroma lembap yang bercampur dengan wangi tanah basah. Seakan udara di sekeliling rumah itu menyimpan fragmen kenangan, tawa anak-anak yang dulu berlari di serambi, suara ibu memanggil dari dapur, atau langkah seorang ayah yang baru pulang kerja sambil mengibaskan debu perjalanan. Semua terasa hidup, meski hanya berupa gema samar dari masa silam.

Melangkah masuk, cahaya tipis menyelinap lewat celah genting yang retak. Debu berterbangan, menari di udara, seperti bintang kecil yang terjebak di siang hari. Kursi goyang di sudut ruangan terdiam, namun bekas goresan pada lantainya mengisyaratkan ia pernah jadi saksi percakapan panjang, mungkin juga tangis yang tak pernah didengar dunia luar. 

Meja kayu di ruang tengah masih berdiri, dengan noda kopi yang membeku, menjadi kenangan seolah ingin berkata "di sini, ada tawa dan pertengkaran yang pernah hidup bersama".

Rumah tua itu seperti album foto tanpa gambar, hanya menyisakan bingkai kosong yang tetap menyimpan cerita. Aku membayangkan betapa banyak tamu yang pernah melangkah masuk, membawa kabar baik maupun berita duka. Setiap pintu yang terbuka dan tertutup telah menyusun sebuah narasi besar: tentang persahabatan, kehilangan, cinta, juga perpisahan.

Ada bagian rumah yang membuat langkahku terhenti, kamar kecil di ujung lorong, pintunya setengah terbuka. Dari dalam, cahaya remang menyemburat, seolah memanggil untuk didekati. Aku masuk perlahan, menemukan lemari tua dengan cermin retak. Bayangan wajahku pecah menjadi serpihan, seakan menegur "Engkau juga bagian dari cerita yang sedang ditulis waktu."

Dan saat itu, aku sadar rumah tua ini bukan sekadar bangunan yang menunggu runtuh. Ia adalah penanda perjalanan manusia. Ia menyimpan kisah tentang bagaimana setiap orang meninggalkan jejak, lalu jejak itu perlahan larut, namun tetap abadi di dinding-dinding yang retak.

Di balik pintu rumah tua, aku belajar bahwa kisah bukan hanya tentang siapa yang masih ada, tetapi juga tentang siapa yang pernah singgah. Setiap langkah, setiap suara, setiap rasa yang pernah hadir, masih bersemayam, menunggu seseorang untuk mendengarkan kembali. Dan hari itu, aku merasa menjadi bagian dari kisah yang telah lama menunggu untuk ditemukan.

Comments