Thursday, 6 March 2025

Genre horor; Gelandangan Era Modern


Suatu hari aku harus berpindah kosan karena kos lama akan direnovasi, maka sebagai jalan alternatif aku memilih mengontrak bersama 7 orang dalam serumah, ya namanya juga diperantauan kan, berhemat. Lalu kami memilih sebuah kontrakan dengan 4 kamar, yang masing-masing kamar berisi dua orang kecuali kamarku.


Kontrakan ini dilengkapi dengan dua kamar mandi yang berada di ujung timur, 1 ruang dapur ditengah, 1 gudang dan garasi luas di paling barat, kelima ruangan ini berada di barisan samping kiri, belakang barisan kamar dan tepat menghadap ke jalan. 


Sudah satu bulan kami tinggal di kontrakan ini, sangat nyaman dan asri, lalu keesokan harinya beredar kabar yang sangat heboh, bahwa Cina dilanda virus mematikan yang disebut dengan corona atau covid 19. Pada saat itu (2020) kami yang hidup di Bali jauh dari keluarga sangat merasakan kekhawatiran yang besar, ditambah lagi dengan beredarnya kabar bahwa virus itu telah masuk ke Indonesia, melalui wisatawann atau turis. 


Kami pun semakin geram dan khawatir, malamnya kami berdiskusi untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Namun tak lama dari itu beredar surat dari kampus bahwa seluruh mahasiswa diharuskan untuk pulang.


Mengingat beratnya kasus itu kampus tidak ingin mengambil resiko. Maka mengharuskan semua mahasiswanya untuk pulang ke kampungnya masing-masing, sementara waktu kampus akan di sterilkan, tidak ada mahasiswa yang boleh mengunjungi kampus terlepas dari apapun kepentingan dan jabatannya.


Akhirnya besok paginnya sekitar jam 2 dini hari kami pulang bersama, kebetulan kami berasal dari satu kota yang sama, maka kami memilih untuk pulang bareng. Aku sebagai tokoh yang sudah biasa pulang malam bahkan dini hari ke tanah jawa memilih untuk berada di posisi paling belakang. Kami pulang menggunakan 4 sepeda motor semua berboncengan kecuali aku (nasib betul jadi gue yak). Karena aku si paling pemberani (Sombong dikit lah ya) dan sudah terbiasa maka memilih untuk mengalah. 


Tepat ketika kita sampai di daerah Cekik (sebuah tikungan yang rawan begal) aku mendengar seseorang bersiul di sudut kanan jalan, diantara rerumputan yang lebat. Aku pun memberikan kode kepada yang lain untuk menambah kecepatan. Alhamdulillah kami sampai di kapal dengan selamat, meski harus berpisah kapal itu tidak masalah. Lalu kutanyakan satu per satu terkait peristiwa tadi, namun dintara mereka tidak ada yang mendengar bahkan tidak sejeli itu. 


Paginya sekitar jam 8 pagi kami sampai dirumah masing-masing. Selama 8 bulan sejak saat itu kami menghabiskan waktu di kampung halaman, menjalankan kuliah via daring. Kesemuanya serba dirumah, namun beruntung aku yang hidup di desa tetap bisa beraktivitas di luar rumah, karena udara yang segar dan aman tidak tercemar virus.


Selama itu kontrakan kami kembali kosong. Setalah 8 bulan di kampung halaman aku memilih kembali ke Bali karena terikat dengan pekerjaan part time yang butuh karyawan, yang mana semua karyawannya termasuk juga aku, pulang kampung semenjak masa pandemi itu. Dengan berbekal protokol kesehatan yang lengkap dan kewaspadaan yang tinggi, sebenarnya rasa takut dan khawatir juga sangat besar, tapi harus tetap bekerja karena tuntutan ekonomi.


Akhirya aku tinggal seorang diri di kontrakan yang sudah 8 bulan kita kosongi, dan pada masa sebelumnya sempat kosong bertahun-tahun karena tidak ada yang mengontrak. Dengan rasa khawatir yang besar karena covid 19, ditambah lagi kontrakan yang semakin redup rasanya membuat jantungku berdegup kencang. “Bismillah saja pasti aman” aku mencoba meyakinkan hati.


Hari-hari kulalui dengan bekerja di sore hari sampai jam 10 malam, selebihnya kuhabiskan di kontrakan. Baik itu mengerjakan tugas maupun aktivitas lainnya. Sangat gabut dan membosankan memang. Lalu aku memilih untuk melakukan aktivitas lain. Menanam sayur di halaman cukup untuk mengisi hari-hari yang sendirian. Hendak bermain namun tak ada teman karena semua teman mahasiswa berada di kampungnya masing-masing.


Suatu hari aku mendapati ladang kecilku tumbuh subur dengan sayur bayam, cabe, terong dan kacang panjang. Aku merawatnya seperti anak sendiri (wkakakak malika dong). Tidak selebay itu sih. 


Pagi itu aku hendak menyiram tanaman seperti biasanya. Kemudian aku mendapati bak mandi kotor, maka aku lakukan keduanya, menguras bak mandi yang penuh dengan membiarkannya mengalir sendiri, cukup dengan membuka tutup bawah bak mandi lalu kutinggal menyiram tanaman di depan.


Setelah selesai aku pun kembali ke kamar mandi, anehnya aku mendapati air tak kunjung habis ketika aku cek tutup baknya, sangat tertutup rapat aku pun kaget (kalian masih ingat kan tadi bahwa aku telah membukanya?).

 “bukannya tadi saya membukanya sendiri dan menaruk tutup baknya disini, lalu siapa yang menutup?” ucapku.


Aku kebingungan mendapati kejadian itu, aku pun mengingat-ingat kembali, sungguh aku tidak sepelupa itu. Aku masih ingat bahwa tadi airnya sudah deras keluar dan tutup bak sudah terbuka, lalu aku mencari ke setiap sudut ruangan, khawatir takut ada orang lain dalam kontrakan ini. Namun alhasil aku tak menemukan apapun, memang hanya aku seorang diri di sini, pun tak ada tetangga yang berani masuk kerumah orang sembarangan. 


Kemudian sedikit pemikiranku ditarik pada hal mistis, namun sedikit tidak yakin “ah sudahlah” gumamku dalam hati, dan memilih untuk melupakan kejadian itu. 


Esok harinya setelah pulang kerja sekitar jam 11 malam aku tiba di kontrakan, aku pun menghidupkan semua lampu di setiap sudut ruangan agar tak semakin seram. Kemudian membersihkan badan, sholat isyak sebentar dan tidur. Di tengah malam entah jam berapa tetangga sebelah sangat berisik, seperti sedang sibuk beraktivitas untuk sebuah acara, entah apa. Aku yang sangat lelah karena bekerja memilih untuk melanjutkan tidur (gila bukan bangun sholat tahajud ). 


Besok paginya terbangun dengan segar dan bugar, seperti biasanya menyiram tanaman dulu setelah mandi, sambil nyanyi dong biar lebih asik, ya kan?. Di tengah asiknya menyiram tanaman, mataku menengok kerumah yang semalam sangat rame, karena rasa penasaran semalam, aku melangkah menuju rumah itu, hanya beberapa langkah “astaga rumahnya kan kosong”. Aku baru tersadar bahwa selama ini rumah itu memang kosong tak berpenghuni sejak lama.


Tiba-tiba ada yang datang mengagetkanku. “ngapain gus?” (gus adalah panggilan untuk anak laki-laki di Bali)

“astaga om kaget saya” refleks badan semakin gak karuan. 

“maaf om rumah ini sudah berapa lama ya kosong” Tanyaku untuk menjawab rasa penasaran.

“om juga sudah lupa entah berapa lama gus, yang jelas sangat lama, coba lihat rumah ini sampai dipenuhi dengan tanaman liar, bahkan gentengnya juga sudah mulai berjatuhan” jelasnya.

“Kenapa tiba-tiba tanya rumah ini gus” ujarnya.

“gak papa om penasaran saja, sangat sayang rasanya rumah sebesar ini terbengkalai begitu saja” jawabku.

“iya betul dan mungkin sudah dihuni makhluk lain” katanya sambil tersenyum tipis.


Aku pun menjadi semakin yakin bahwa yang semalam kudengar adalah mereka yang menghuni. Setelah lelaki setengah baya itu pergi, aku mendekati jendela rumah itu. Dindingnya sudah dipenuhi dengan tumbuhan blukar hingga ke atapnya, sangat sulit untuk di jangkau, halaman depannya sudah seperti hutan saja penuh dengan tumbuhan liar yang lebat. 


Sesampainya di jendela aku mendekatkan mata dan mengintip ke dalam, anehnya rumah yang sudah bolong atapnya ini terlihat sangat gelap di dalam, dan tak terlihat apapun. 


“aneh, padahal atapnya bocor, kok bisa gak ada cahayanya ya” gumamku dalam hati. Tapi aku memilih untuk menyudahi rasa penasaran itu dan kembali ke kontrakan untuk memasak sarapan pagi. 


Sejak saat itu, setiap malam sudah biasa rasanya mendengar keramaian rumah sebelah yang kosong, entah suara musik, atau ramai aktivitas lainnya. Aku memilih untuk acuh dan membiarkan mereka hidup tenang bertetangga denganku (haha, seperti cara hidup dengan manusia saja).


Suatu malam aku pulang dengan sangat lelah, kedai sangat ramai hari itu. Setelah membersihkan badan dan melaksanakan sembahyang aku pun tidur. Karena sangat lelah aku tak mempedulikan arah. Tidur menghadap jendela yang tembus ke garasi belakang, tepat ketika hendak memejamkan mata, sekelibat cahaya putih lewat sangat pelan di belakang jendela, seperti sengaja menampakkan diri dan menakut-nakuti. Alhasil aku teringat bahwa malam itu adalah malam jum’at.


“gila pantas saja, malam jum’at” ujarku dalam hati setelah melihat kalender di handphone, akhirnya aku memilih untuk melanjutkan tidur karena sangat lelah, tetiba bayangan itu entah menjatuhkan apa sangat berisik, kemudian aku pun merespon “aku tak peduli lah dengan apa yang kau lakukan, ingat ya aku penghuni rumah ini, kau hanya menumpang. Ku usir kau nanti jadi gelandangan kau” teriakku tetap berbaring di kasur.


Setelah itu aku tak lagi mendengar suara dan ia tak lagi sibuk mondar-mandir, mungkin dia sedang merenung karena kenak mental haha, dan mungkin bergumam dalam hati bahwa ia salah target


Malam itu tidurku sangat nyenyak dan tak mempedulikan apapun, meski kejadian itu adalah yang paling nyata aku alami. Namun aku tetap memilih acuh seperti biasanya. Kemudian adzan subuh membangunkanku. Dengan tersadar membuka mata, lagi-lagi sekelibat cahaya melintasi jendela, tepat seperti semalam dari garasi ke timur seperti menuju kamar mandi. 


Karena kesal aku pun bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Menengok kamar mandi no 1. Tepat di dalam bak mandi kudapati gayung berayun-ayun di air tak bergelombang itu, jantungku seketika berdegup sangat kencang. Ini masih subuh hari, bumi masih gelap. 


Kemudian aku perhatikan lagi bak mandi itu, mataku mendapati ada rambut yang menunggangi dayung, warna hitam yang sangat jelas. Jantungku seperti mau copot rasanya. Tapi aku beranikan untuk naik dan melihat dari jarak dekat dan benar saja… Itu adalah seekor tikus yang tenggelam dalam bak mandi “jyaancuk, curut” ujarku dalam hati, seketika jantung merasa tenang. 


Tikus itu seperti berusaha menyelamatkan diri dengan menunggangi gayung, aku pun menceramahinya. 

“makanya jangan main di air curut, tenggelam kau jadinya” ia menatapku seperti hendak minta tolong. Lalu ku ambilkan ia kemocing, dan ku angkat ia pelan-pelan kemudian ku turukan ke lantai. Bukannya lari terbirit-birit ia malah sibuk mengeringkan wajah dan badannya (tikus betina kali ya, mentingin penampilan). Kemudian ku gertak ia dengan kaki baru ia lari terbirit-birit dan aku pun tertawa terpingkal-pingkal. 


Seketika aku pun teringat kembali dengan bayangan tadi, benarkah ia menjelma tikus, otakku yang setengah gila berimajinasi “Tapi masak iya” pikirku setengah ragu. “jika memang menjelma tikus terlalu goblok dia nyemplung dalam bak mandi, dengan wujud yang jelek pula, paling tidak menjelma jadi ikan lele lah biar ku goreng ntar” ujarku setengah mengejek, lalu aku tertawa sendiri terbahak-bahak.


Entah mungkin bayangan itu sudah tak punya harga diri di kontrakanku, atau mungkin ia sudah menjadi gelandangan era modern, seperti persepsi gue di awal haha.


No comments:

Post a Comment

Berkomentarlah yang sopan ya guys, semoga postingan ini bermanfaat untuk kita semua.